Telah kita ketahui bersama maraknya kekerasan dan sifat
anarkis dari berbagai lapisan kalangan di Negara Indonesia. Seolah itu menjadi
tren umum yang di gadrungi warga Indonesia. Padahal hal ini sangatlah
memperhatinkan dan mencoreng naba Indonesia yang identik dengan cinta damai dan
sopan santunnya. Hal ini menjadi topic yang menarik untuk di kulas lebih lanjut
apa penyebab terjadinya perubahan sifat yang begitu extrim. faktor penyebab
munculnya tindakan anarkis ataupun premanisme di negara ini antara lain,
1. Faktor mendasar yaitu penerapan
ideologi sekulerisme kapitalisme,
2. Faktor ekonomi yang mendesak
mereka untuk berbuat anarki untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya
3. Faktor penegakan hukum yang lemah,
sistem hukum dinegri ini yang tidak bias
memberikan efek jera bagi pelaku
tindakan premanisme ataupun kejahatan. Hukuman
yang dijatuhkan terhadap preman
atau yang melakukan tindakan kejahatan yang terlibat
bentrokan bahkan pembunuhan begitu ringan.
4. Faktor kelompok atau geng yang
menjadikan lingkup ideology mereka
Perilaku anarki selalu
dipertontonkan di tengah-tengah masyarakat.
Mereka itu sudah tidak merasa bahwa perbuatan itu sangat tidak terpuji dan bisa
mengganggu ketenangan masyarakat.
Sebaliknya mereka merasa bangga jika masyarakat itu takut dengan geng masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi. Hampir setiap minggu,
berita itu menghiasi media massa. Bukan hanya tawuran antar pelajar saja yang
menghiasi kolom-kolom media cetak, tetapi tawuran antar polisi dan tentara ,
antar polisi pamong praja dengan tawuran sepertinya sudah menjadi bagian dari
budaya bangsa Indonesia. Sehingga jika mendengar kata tawuran, sepertinya masyarakat Indonesia
sudah tidak asing lagi. Hampir setiap minggu, berita itu menghiasi media massa.
Bukan hanya tawuran antar pelajar saja yang menghiasi kolom-kolom media cetak,
tetapi tawuran antar polisi dan tentara , antar polisi pamong praja dengan
pedagang kaki lima, sungguh menyedihkan. Inilah fenomena yang terjadi di masyarakat kita.Tawuran
antar pelajar maupun tawuran antar remaja semakin menjadi semenjak terciptanya
geng-geng. Perilaku anarki selalu dipertontonkan di tengah-tengah masyarakat. Mereka itu sudah tidak merasa bahwa
perbuatan itu sangat tidak terpuji dan bisa mengganggu ketenangan masyarakat. Sebaliknya mereka merasa
bangga jika masyarakat itu takut dengan geng/kelompoknya. Seorang pelajar
seharusnya tidak melakukan tindakan yang tidak terpuji seperti itu.Biasanya
permusuhan antar sekolah dimulai dari masalah yang sangat sepele. Namun remaja
yang masih labil tingkat emosinya justru menanggapinya sebagai sebuah
tantangan. Pemicu lain biasanya dendam Dengan rasa kesetiakawanan yang tinggi
para siswa tersebut akan membalas perlakuan yang disebabkan oleh siswa sekolah
yang dianggap merugikan seorang siswa atau mencemarkan nama baik sekolah
tersebut.Sebenarnya jika kita mau melihat lebih dalam lagi, salah satu akar
permasalahannya adalah tingkat kestressan siswa yang tinggi dan pemahaman agama
yang masih rendah. Sebagaimana kita tahu bahwa materi pendidikan sekolah .
Salahsatu kontributor dari munculnya tindakan anarkis
adalah adanya keyakinan/anggapan/perasaan bersama (collective belief).
Keyakinan bersama itu bisa berbentuk, katakanlah, siapa yang cenderung
dipersepsi sebagai maling (dan olehkarenanya diyakini “pantas” untuk digebuki)
; atau situasi apa yang mengindikasikan adanya kejahatan (yang lalu diyakini
pula untuk ditindaklanjuti dengan tindakan untuk, katakanlah, melawan).
Perasaan tidak aman atau rasa takut pada kejahatan pada umumnya juga
diakibatkan oleh diyakininya perasaan bersama tersebut, terlepas dari
ada-tidaknya fakta yang mendukung perasaan tadi. Media-massa dalam hal ini amat
efektif menanamkan citra, persepsi, pengetahuan ataupun pengalaman bersama
tadi. Maka, sesuatu yang mulanya kasus individual, setelah disebarluaskan oleh
media-massa lalu menjadi pengetahuan publik dan siap untuk disimpan dalam
memori seseorang. Memori tersebut pada suatu waktu kelak dapat dijadikan
referensi oleh yang bersangkutan dalam memilih model perilaku. Perhatikan
bahwa, pada awalnya, kecenderungan membakar pelaku kejahatan hingga tewas
ditemukan di Cengkareng, Jakarta Barat. Setelah dengan intens diberitakan
di media-massa, secara beruntun fenomena yang sama lalu terjadi di belahan
tempat di Jakarta. Dan barulah sekitar setengah tahun kemudian (sekadar untuk
memperlihatkan bahwa terdapat penularan) fenomena ini kemudian ditemukan
pula di luar Jakarta.
Adanya
keyakinan bersama (collective belief) tentang suatu hal tersebut
amat sering dibarengi dengan munculnya entah simbol, tradisi, grafiti,
idiom/ungkapan khas dan bahkan mitos serta fabel yang bisa diasosiasikan dengan
kekerasan dan konflik. Sebagai contoh, mitos tentang “kompleks Siliwangi”, STM
Budut” atau “anak Berlan”. Pada dasarnya kemunculan hal-hal seperti
simbol, tradisi dan lain-lain itu mengkonfirmasi bahwa masyarakat
setempat mendukung perilaku tertentu, bahkan juga bila diketahui bahwa itu
termasuk sebagai perilaku yang menyimpang. Adanya dukungan sosial terhadap
suatu penyimpangan, secara relatif, memang menambah kompleksitas masalah
serta, sekaligus, kualitas penanganannya. Secara perilaku, dukungan itu bisa juga
diartikan sebagai telah munculnya kebiasaan (habit) yang telah
mendarah-daging (innate) di kelompok masyarakat itu. Adanya graffiti
atau coretan-coretan di gang-gang kampung berbunyi “mobil nyenggol pengemudi
benjol”, unjuk rasa yang selalu diiringi kepalan dan teriakan, atau
ungkapan khas Betawi “gue babat lu” adalah contoh-contoh kecil dari begitu
eksplisitnya dukungan masyarakat terhadap kekerasan. Pada suatu waktu, hal itu
bakal menyumbang besar pada timbulnya anarki.
Maka,
terhadap adanya kecenderungan peningkatan anarki di masyarakat, sadarlah kita
bahwa kita berkejaran dengan waktu. Pencegahan anarki perlu dilakukan sebelum
tindakan itu tumbuh sebagai kebiasaan baru di masyarakat mengingat telah cukup
banyaknya kalangan yang merasakan “asyik”-nya merusak, menjarah, membakar dan
lain-lain tanpa dihujat apalagi ditangkap (lihat Meliala dalam Gamma,
2000). Berkaitan dengan ketidaksadaran dari banyak kalangan perihal
beroperasinya suatu keyakinan bersama menyusul suatu tindak anarki, adalah
kebiasaan kita untuk kemudian menunjuk adanya provokator. Provokator tersebut,
secara teoritik, dapat dipersamakan dengan agitator atau insinuator bila hasil
kerjanya berupa munculnya rasa marah dan kemauan berkonflik pada diri
orang yang di-agitasi atau di-insinuasi. Mengenai bayangan itu, diduga kuat
tidaklah demikian dalam kenyataannya. Yang lebih mungkin terjadi adalah
bahwa antar anggota kelompok atau massa itu sendirilah yang saling
memprovokasi, saling mengagitasi atau saling menginsinuasi satu sama lain agar
melakukan tindak anarki. Bila begitu, tak ayal, efeknya akan jauh lebih hebat
dan lebih mungkin berhasil.
Anarki,
sebagaimana telah disinggung di atas, dilakukan dalam rangka perilaku
kolektif oleh massa yang spontan berkumpul dan, sepanjang diupayakan, dapat
dengan mudah cair kembali. Dengan demikian, secara kepolisian, memang relatif
lebih mudah memecah-belah massa dari tipe ini sepanjang tersedia perkuatan (enforcement)
yang cukup. Yang jauh lebih merepotkan adalah, bila anarki dilakukan oleh
orang-orang dari kelompok tertentu yang terorganisasi, memiliki motif militan
dan radikal serta membawa senjata (atau benda-benda lain yang difungsikan
sebagai senjata). Pelakunya juga bisa datang dari suatu komunitas yang,
katakanlah, telah terinternalisasi dengan nilai dan ide kekerasan sebagaimana
disebut di atas dan menjadi radikal karenanya (lihat Meliala, Pembaruan, 2001).
Maka
singkatnya, anarki pada kelompok cair adalah sesuatu hal yang niscaya,
wajar terjadi atau tak terhindarkan. Sedangkan anarki pada kelompok yang
terorganisasi adalah efek yang sudah diperhitungkan (calculated effect),
yang akibatnya sudah diperhitungkan dalam kaitannya dengan yang lain (systematic
effect). Sehingga benar bila dikatakan efek itu sendirilah yang
justru diinginkan untuk terjadi (intended effect). Anarki oleh kelompok
terorganisir ini umumnya terencana, memiliki cukup kekuatan dan jaringan,
memiliki motif tertentu dan juga target-target tertentu. Kekerasan yang
muncul kemudian, entah dalam rangka unjuk rasa, pawai atau mogok massal yang
seluruhnya berawal secara damai, semakin mengundang media untuk meliput
(studentadvantage.com,2001). Kekerasan, yang tidak dikehendaki kemunculannya
oleh polisi, kemudian menghadirkan spiralling effect berupa adanya
masalah baru, yakni ketika media datang. Hal ini juga kerap terjadi di
Indonesia.
Berbeda dengan anarki oleh kelompok cair yang secara
teoritik sulit sekali dibendung oleh polisi sejak fase paling awal,
maka kalau mau, polisi sebenarnya dapat membendung anarki yang
diproduksi oleh kelompok terorganisir dan terencana ini. Bila masyarakat
sendiri yang perlu mencegah anarki oleh massa spontan, maka hanya polisilah
yang mampu (dan diperbolehkan oleh undang-undang) untuk mencegah dan menindak
anarki jenis kedua tadi sesuai fungsinya sebagai pemelihara ketertiban umum (public-order
policing). Intelijen kepolisian yang kuat tentu dapat mendeteksi niat para
perancang unjuk rasa, misalnya, untuk “menabrak” siapapun yang mencegah ulah
brutal mereka.
Kesimpulann
: bahwa pada dasarnya sifat anarkis itu di picu oleh kesenjangan social di
kalangan masyarakat yang dimana kurang terpenuhi membuat timbulnya sifat
pemarah,lepas control dan bertindak kekerasan untuk mencapai keinginannya. Di tambah
penegaan hokum yang kurang begitu ketat untuk perilaku anarki ini menjadikan
tidak ada rasa jera dan jangung lagi untuk melakukan kekerasan di kalayak umum
Referensi
:
No comments:
Post a Comment