Thursday, March 1, 2012

Budaya Daerah Sebagai Alat Mempersatu Bangsa





Indonesia adalah negara yang memiliki masyarakat yang beraneka ragam, baik suku, bahasa maupun budaya daerah. Budaya daerah yang setiap daerahnya memiliki ciri khas yang tak terpisahkan dari buah akal budi masyarakat dalam suatu daerah. Banyak budaya indonesia dalam berbagai bentuk dan menyajiannya, misalnya kesenian,pengetahuan, adat-istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan moral yang dimiliki oleh masyarakat. Dalam aspek kebudayaan nasional diambil dengan sejumlah unsur yang merupakan bagian dari puncak-puncak kebudayaan daerah yang dijadikan kebudayaan nasional menjadi sebuah ciri khas suatu negara indonesia.  

Fungsi dari kebudayaan daerah sebagai berikut:
      1.      Mempersatukan berbagai suku bangsa,
      2.      Sebagai identitas nasional dan
      3.      Sebagai sarana pergaulan antarsuku bangsa Indonesia.
       Negara kita memiliki banyak objek pariwisata yang sangat potensial. Objek-objek
       tersebut tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Potensi yang kita miliki ini merupak-
       an modal utama bagi pembangunan dalam bidang pariwisata.
       Di dalam uraian berikut akan di kemukakan jenis objek pariwisata, faktor-faktor  
       pendukung dan faktor-faktor penghambat pariwisata.


      Indonesia memiliki Objek wisata budaya yang sangat beragam, misalnya  peninggalan sejarah seperti benteng-benteng kuno,  keraton, candi, makam, tempat pembuatan barang-barang seni, kesenian daerah (tarian drama daerah) upacara adat, upacara keagamaan dan taman budaya.
      Wilayah Indonesia terdiri atas 17.508 buah pulau, dengan bentuk permukaan dan pantai yang beraneka ragam. Keindahan alam flora dan fauna dapat menjadi daya tarik pariwisata. Disamping itu, Indonesia mempunyai banyak suku dengan tradisi, bahasa, dan adat-istiadat yang berbeda-beda.
Setiap daerah di wilayah Indonesia memiliki objek wisata alam, budaya maupun buatan. Berikut ini Salah satu kebudayaan yang berasal dari Jawa Tengah yaitu wayang yang ada di Indonesia.

Wayang menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan salah satu budaya asli  bangsa Indonesia, khususnya di daerah Pulau Jawa yang di kenal oleh negara lain. Budaya wayang meliputi beraneka cabang seni baik seni peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan., budaya wayang merupakan budaya Indonesia,. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.

Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para budayawan In donesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk mem­perkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.

Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir.

Seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa.

Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India. Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi In dia, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160).

Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata "mawa yang" dan `aringgit' yang maksudnya adalah pertunjukan wayang.

Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi.
Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehis toric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indone sia halaman 987.

Kata `wayang' diduga berasal dari kata `wewa yangan', yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah cerita cerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Songo. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.

Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.

Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam.
Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem.

Di wilayah Kulonprogo wayang masih sangatlah diminati oleh semua kalangan. Bukan hanya oleh orang tua saja, tapi juga anak remaja bahkan anak kecil juga telah biasa melihat pertunjukan wayang karena biasa di gunakan untuk acara-acara tertentu di daerah kulonprogo ini, baik di wilayah kota Wates ataupun di daerah pelosok di Kulonprogo.
Hal ini menumbuhkan kesadaran, bahwa kebudayaan daerah dapat sangat efektif untuk bekal memasuki global village (desa global) maupun global culture (budaya global).

Dari segala aspek yang melingkupi budaya wayang memiliki pesan dan unsur religi untuk kita sebagai manusia tidak menyerupai tokoh-tokoh yang di watakkan buruk dalam pewayangan..wayang juga menjadikan wadah sarana sosialisasi tentang makna pesan kehidupan. Dan bisa mempersatukan persaudaraan tentang di gelarnya wayang di berbagai daera agar budaya ini di jaga oleh masyarakat Indonesia agar tidak di klem negara lain.


Sumber :
Alfian. Persepsi Masyarakat tentang kebudayaan, Jakarta: PT Gramedia, 1985.


No comments:

Post a Comment