Budaya timbul dari turun
temurun kebiasaan dan pola pikir nenek moyang kita yang di ajarkan baik melalui
perbuatan, lisan dan mitos-mitos yang berkembang di Zaman tersebut. Indonesia adalah Negara yang begitu
luas dan memiliki ciri khas memiliki banyak pulau-pulau yang terpisah oleh
lautan dan selat, memiliki sejarah perkembangan budaya yang tidak sama dan
membuat kebudayaan itu menjadi semakin beragam. Daerah yang berada dalam satu
wilayah pun kadang mengalami perbedaan perkembangan kebudayaan. Hal ini karena adanya perbedaan intensitas budaya
asing yang masuk ke masing-masing daerah. Pada zaman dulu banyak para pedagang
asing yang singah di negara indonesia, mereka akan membawa budayanya mereka
kepada masyarakat indonesia yang menjadi berkembang dan tertanam sejak jaman
itu dan perbedaan periode (lama waktu) intervensi budaya luar terhadap budaya
lokal daerah. Para pedagang asing itu pasti memiliki periode waktunya untuk
mendatangi pulau indonesia. Bahkan untuk negara-negara yang jauh dari kawasan
Indonesia harus menempuh jalur yang sangat jauh. Hal ini juga mempengaruhi
terjadinya perbedaan waktu tentang masuknya budaya. Dan ada juga hal dimana
pedagang asing hanya berlabuh singkat di indonesia,maka budaya yang akan di
serap juga berbeda.
faktor –faktor utama tersebut berperan dalam
membentuk budaya Indonesia saat ini yang begitu beragam. Dalam perkembangannya,Unsur
religi melatar belakangi perkembangan budaya. Unsur tersebut melahirkan
pandangan hidup dan Pola pikir. Religi selalu hadir dalam bentuk apa pun di
setiap kebudayaan etnik di dunia. Tak terkecuali etnik di Nusantara.
Bentuk Religi dalam wujudnya yang paling pertama adalah menghormati kekuatan
yang mengisi ruang alam. Kekuatan tersebut mencakup kekuatan negatif maupun
positif. Tak bisa disangkal bahwa kedua kekuatan tersebut hadir dalam kehidupan
manusia. Kekuatan tidak berbentuk dan dapat menghuni berbagai ruang seperti
bebatuan, sungai, pepohonan atau lembah.
Saat peradaban mulai
berkembang, religi menyesuaikan bentuknya dengan pemikiran manusia. Ketua
kelompok dipilih oleh anggotanya berdasarkan konsep Primus Interpares (yaitu
orang yang paling unggul di antara para unggulan). Selama menjadi pemimpin,
ketua kelompok diharuskan sanggup menyelenggarakan pesta jasa (fiest of merit)
pada seluruh anggotanya. Pesta tersebut bisa berupa pendirian monumen untuk
mengenangnya. Monumen tersebut biasanya berbentuk punden berundak, dengan
menhir yang menjulang tegak di atasnya. Jika meninggal, roh ketua kelompok akan
mendiami puncak-puncak gunung bersama roh leluhur. Roh ketua kelompok dapat
dipanggil sewaktu-waktu rakyatnya memerlukan pertolongan dengan memasuki menhir
yang menjadi simbolitas. Dengan demikian lahirlah Religi Pemujaan terhadap
Arwah Leluhur (ancestor worship) di Nusantara.
Demikianlah ketika agama besar
dunia hadir ke kehidupan penduduk di kepulauan Nusantara pada awal tarikh
Masehi. Dalam bidang religi, nenek moyang kita sudah mempunyai dasar yang baik,
yaitu sudah bisa mengidentifikasikan kekuatan supranatural. Mereka sudah mampu
mengatur warganya sesuai dengan pandangan hidup terhadap kekuatan supranatural.
Mereka juga mampu menciptakan kesenian yang didedikasikan untuk kekuatan
supranatural, dan masih banyak lagi bentuk apresiasi lainnya untuk alam
supranatural. Agama Hindu dan Buddha yang diterima secara luas di Jawa,
Sumatera, Bali, dan sedikit di Kalimantan
sebenarnya merupakan pembungkus dari ritual pemujaan terhadap arwah leluhur.
Agama Islam, Kristen, Katholik yang datang menyusul mendapatkan sambutan yang
baik dan berkembang dengan subur di beberapa wilayah berbeda Nusantara.
Perbedaan pendalaman agama-agama besar itu terjadi karena akulturasi dengan
lapisan kebudayaan yang sudah mengendap sebelumnya. Hingga dewasa ini kehidupan
religi di Indonesia
berjalan dengan baik, rasa toleransi, dan melanjutkan tradisi tetap hidup, di
antara etnik-etnik besar atau pun kecil.
Budaya Indonesia mulai berkembang sejak
Zaman:
a.
Zaman
Batu Tua (Paleolitikum)
Periode zaman ini adalah
antara tahun 50.000 SM - 10.000 SM. Pada zaman ini, manusia hidup secara
nomaden dalam kumpulan kecil untuk mencari makanan. Mereka memburu binatang, menangkap ikan dan
mengambil hasil hutan sebagai makanan. Mereka belum bisa bercocok tanam. Mereka
menggunakan batu, kayu dan tulang binatang untuk membuat peralatan memburu.
Mereka membuat pakaian dari kulit binatang tangkapan mereka. Selain itu, mereka
telah pandai menggunakan api untuk memasak, memanaskan badan dan mengusir
binatang.
b.
Zaman
Batu Pertengahan (Mesolitikum)
Ketika masa mesolitikum,
penduduk Indonesia sudah mulai hidup dengan cara menetap dan sudah mulai
bercocok tanam secara sederhana untuk memenuhi kebutuhan makanan mereka,
disamping berburu hewan dan menangkap ikan. Tempat tinggal yang mereka pilih
umumnya berlokasi di tepi pantai (kjokkenmoddinger) dan goa-goa (abris sous
roche).
·
Kjokkenmoddinger adalah
sampah dapur yang berisi siput, kerang dan barang-barang hasil kebudayaan
seperti kapak genggam, ditemukan di sepanjang pantai timur Pulau Sumatera.
·
Abris sous roche adalah goa menyerupai ceruk batu karang yang digunakan
manusia sebagai tempat tinggal. Ditemukan didaerah Madiun, Besuki, Timor dan Rote.
c.
Zaman Batu Muda (Neolitikum)
Zaman batu
muda (Neolitikum) benar-benar membawa revolusi dalam kehidupan manusia. Pada
zaman ini, mereka telah hidup menetap, membuat rumah, membentuk kelompok
masyarakat desa, bertani dan berternak untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sejalan
dengan itu revolusi alat-alat penunjang kehidupanpun terjadi.
Setelah masa
Neolitikum, kemudian kebudayaan Indonesia
berlanjut kemasa zaman logam. Hal ini ditandai dengan dikenalnya tekhnik untuk
mengecor / mencairkan logam dari biji besi, dan menuangkan kedalam
cetakan-cetakan serta mendinginkannya. Oleh karena itulah mereka mampu membuat
aneka ragam senjata berburu dan berperang serta alat-alat lain yang mereka
perlukan.
Pada masa kekuasaan
Hindu-Buddha, masyarakat bisa mengangkat negeri ini hingga mencapai kejayaan.
Masyarakat saat ini masih merasa ikut memiliki peninggalan peradaban tersebut,
misalnya peninggalan kerajaan Sriwijaya atau Mataram Kuno. Peninggalan tersebut
rupanya bisa dimanfaatkan menjadi sumber penghidupan masyarakat saat ini.
Wisatawan berdatangan untuk melihat peninggalan sejarah yang dijadikan sebagai
objek wisata, mengagumi kejayaan masa lalu. Hal itu membuktikan bahwa sistem
sosial masyarakat di masa lalu tidaklah buruk, bahkan mereka mampu membangun
karya monumental yang membanggakan.
Masa kejayaan Islam merupakan
kebanggaan bagi sebagian masyarakat. Hal itu ditimbulkan dari anggapan bahwa
keberhasilan penyebar agama Islam mampu menanamkan kekuasaan di Nusantara.
Masyarakat yang tadinya tidak beragama / kafir, bisa diubah menjadi masyarakat
yang bermartabat dan agamis. Agama Islam menjadi rujukan pembuatan tata nilai
atau seluruh tindakan sosial di Nusantara.
Beberapa kesultanan didirikan
oleh bangsa Arab atau setidaknya mengadopsi nama-nama Arab yang menandakan
mereka adalah Islam. Istilah “sulthan” menjadi sebutan bagi penguasa di
berbagai kerajaan kecil yang mampu bertahan. Pertikaian antarkelompok mewarnai
kerajaan-kerajaan Islam. Di Aceh, pengikut Hamzah Fansyuri diburu dan seluruh
buku karangan Hamzah Fansyuri pun dibakar. Pengikut Ar Raniri, orang Arab dari
Kerala, membantu mempertahankan kelangsungan Islam di Aceh.
Penyebar Islam di Jawa
kebanyakan merujuk pada satu dewan wali yang dikenal dengan Walisongo. Beberapa
anggotanya seperti Sunan Kalijogo, Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan
Gunung Jati, kyai Pandan Aran masih menjadi tokoh yang sangat dikagumi hingga
masa kini. Di Sulawesi ada kesan khusus pada satu tokoh Islam karena dianggap
sebagai simbol perlawanan pada kaum kafir, orang Belanda, yaitu Syeh Yusuf yang
diasingkan ke Afrika Selatan.
Masyarakat Islam Indonesia
pada masa kini belum berhasil menghasilkan sesuatu yang bermakna. Mungkin
satu-satunya peninggalan kerajaan Islam yang tersisa adalah “Serat Centhini di
Jawa”, yang berupa sebuah ensiklopedi yang cukup tebal. Serat itu mungkin hanya
tertandingi oleh “La Galigo” dari Sulawesi Selatan yang mungkin dibuat pada
masa Kerajaan Sawungaling. Masyarakat saat ini tidak mampu bersatu untuk
menciptakan karya-karya monumental seperti masa dahulu.
Masa pendudukan Belanda di Indonesia merupakan
masa-masa paling gelap. Bangsa Indonesia sama sekali tidak
memiliki kesempatan untuk berkembang sebagai suatu bangsa yang mandiri. Kita
hanya bisa mengagumi bagaimana bangsa Jepang mampu bertahan dan melakukan
restorasi Meiji yang terkenal sehingga menyejajarkan kedudukan Jepang dengan
bangsa-bangsa Barat.
Selanjutnya, orang-orang yang
digolongkan ke kelompok ‘abangan’ ini mampu melahirkan ide-ide cemerlang untuk
bangsa. Kita semua mengenal nama-nama seperti Tan Malaka, Douwes Dekker, atau
bahkan Bung Karno. Tokoh-tokoh tersebut telah merintis jalur ke arah
kemerdekaan dan memungkinkan pembebasan bangsa ini dari segala bentuk
penjajahan baik fisik, ekonomi, dan mental spiritual.
Sejak 1945, setelah Jepang
menyerah pada sekutu, bangsa Indonesia
merasa bebas dan bersatu mendirikan negara Indonesia. Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila menjadi
landasan falsafah bangsa. Sebagai landasan idiologi yang mengambarkan ciri khas
negara indonesia tidak di miliki negara lain.
Sumber : tokoone.com/kebudayaan-indonesia/
No comments:
Post a Comment