Banyak di tayangkan kasus kekerasan rumahtangga yang di lakukan baik
ayah kepada anak, suami kepada istri, istri kepada suami yang mengakibatkan
penganiyayaan yang sukup serius bahkan sampai merengut nyawa korban
penganiyayaan.
Pengertian kekerasan dalam rumah tangga
sendiri (disingkat KDRT)
adalah kekerasan yang
dilakukan di dalam rumah tangga baik oleh suami maupun oleh istri. Menurut
Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
(UU PKDRT), KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga. Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan (istri) dan pelakunya
adalah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang
tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban KDRT adalah orang
yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian
dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di rumah ini.
Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena terpaut dengan
struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami. Padahal
perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman
terhadap korban serta menindak pelakunya.
Pada dasarnya manusia dibangun atas dua stratifikasi, yaitu fisik dan psikis.
Fisik terdiri dari jasad manusia itu sendiri, sedangkan psikis terdiri dari jiwa,
akal dan hati. Tingkah
laku sendiri muncul sebagai manisfestasi psikis manusia dengan lingkungannya.
Dengan kata lain, tingkah laku merupakan suatu ekspresi dan responsi. Ekspresi
berarti bahwa tingkah laku menjadi media untuk memperlihatkan kondisi psikis,
sedangkan responsi berarti bahwa tingkah laku merupakan respon seseorang
terhadap kondisi lingkungan yang mempungaruhinya (Burhanudin, 2007: 417).
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa tingkah laku manusia merupakan
fokus utama dalam masalah kekerasan pada anak. Pelaku utamanya melahirkan suatu
tingkah laku tertentu sebagai ekspresi keadaan jiwa dan responnya terhadap
lingkungan. Ini berarti pula bahwa masalah kekerasan pada anak melibatkan
relasi dengan orang lainKekerasan ini sangat mungkin terjadi karena manusia
memiliki sifat-sifat yang spesifik. Ia dapat menjadi orang yang baik, jahat,
taat atau bahkan dapat melanggar peraturan.
Tulisan ini membahas kekerasan dalam rumah tangga secara spesifik, yaitu
kekerasan orang tua terhadap anaknya. Hal ini menjadi sangat menarik karena
anak-anak dan remaja sangat sensitif terhadap lingkungannya. Pendidikan adalah
hal yang sangat dibutuhkan oleh anak-anak untuk beradaptasi dengan
lingkungannya. Pendidikan tersebut meliputi pendidikan akademik, kesehatan,
sosial, moral, agama dan sebagainya. Selain itu, anak dan remaja juga masih
membutuhkan bimbingan dari orang tuanya. Mereka belum memiliki identitas
sosial, sehingga pada umunya anak tersebut akan meniru cara orang tuanya
bertingkah laku atau beradaptasi dengan lingkungannya. Karena masa ini adalah
masa yang sangat rentan, maka jika anak mengalami kekerasan, ia akan mengalami
gangguan perkembangan dan tingkah laku.
Ketertarikan ini semakin mengental ketika munculnya banyak fenomena kekerasan
terhadap anak di setiap belahan dunia.Pada tahun 2000 saja, Unicef (United
Nations Children Fund) mencatat bahwa lebih dari 20% anak dan wanita
menjadi korban kekerasan di lebih dari 23 negara (Unicef, 2000: 5).
Pada
tahun 2008, di Indonesia terdapat sekitar 21.872 anak menjadi korban kekerasan
fisik dan psikis serta 12.726 anak mengalami kekerasan seksual. Sementara
70.000–95.000 anak menjadi korban perdagangan anak untuk dipekerjakan sebagai
PSK. Sedangkan selama Januari hingga April 2008, terdapat 95 kasus kekerasan
terhadap anak yang berusia 0-18 tahun.Dari jumlah tersebut, persentase
tertinggi, yaitu 39,6 % diantaranya dilakukan oleh guru (Alfarisi, 2008).
Pada
taun 2010, KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) mencatat bahwa dalam 5
bulan, kasus kekerasan anak di Indonesia meningkat menjadi 1.826 kasus. Menurut
ketua KPAI, Aris Merdeka Sirait, pada tahun 2010 ini, sebesar 68% diantaranya
adalah kekerasan seksual. Munurutnya, kekerasan ini
lebih banyak terjadi pada anak-anak
terlantar (Judarwanto, 2010).
Kasus
kekerasan anak yang cukup tinggi terjadi di Aceh, NTT, NTB dan Kalimantan
selatan. Hingga tahun 2009, di Aceh terjadi peningkatan kasus kekerasan anak
dari 20 kasus menjadi 151 kasus. Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial
mencatat pada tahun 2010, hampir 12 juta anak di bawah usia 18 tahun terlantar.
Dari data tersebut, anak yang berhadapan dengan hukum mencapai 189, anak-anak
yang bekerja mencapai 5 juta anak. Dari angka 5 juta pekerja anak, ada 2 juta
anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga anak. Sedangkan anak-anak
jalanan mencapai 232 ribu (Firdaus, 2010).
Bentuk
kekerasan yang seringkali dilakukan adalah kekerasan fisik psikologis, seksual
dan kekerasan di sekolah. Kebanyakan pelakunya berdalih untuk menyadarkan atau
mendidik anak, padahal tidak jarang pula banyak kasus membuktikan bahwa
kekerasan dilakukan karena pelaku tidak dapat menahan amarahnya.
Kekerasan lebih banyak terjadi di rumah. Orang tua dengan bebas melakukan
kekerasan pada anaknya. Hal ini disebabkan karena orang tua memiliki otoritas
tertinggi dalam rumah tangga. Anak hanya sebagai orang yang harus menurut dan menaati
orang tua. Orang tua yang tidak menyukai kegiatan atau tingkah laku tertentu
yang dilakukan anak biasanya memukul pantat atau bagian-bagian tubuh lainnya,
menjewer, mencubit, mendorong, meremas atau menarik. Semua itu biasanya
dilakukan agar anak berhenti melakukan hal yang tidak disetujui orang tua.
Biasanya, kekerasan fisik tersebut dilakukan bersamaan dengan kekerasan verbal,
seperti membentak, memaki, meneriaki atau mengeluarkan kata-kata yang kasar.
Pada umumnya, kekerasan fisik dan verbal terjadi pada orang tua yang memiliki
gaya asuh otoriter. Orang tua juga sering kali tidak menyatakan alasannya
mengapa mereka menunjukan sikap seperti itu, sehingga anak yang tidak mengerti,
memiliki potensi untuk meniru perilakunya. Orang tua dengan gaya asuh seperti
ini biasa menerapkan kondisi rumah seperti lingkungan militer, di mana ada
atasan, bawahan, aturan dan hukuman yang ketat.
Menurut Santrock (2007: 257), gaya pengasuhan orang tua yang dominan, sering
memberikan hukuman dan menanamkan kedisiplinan dengan keras dapat menyebabkan
anak bersikap sangat hati-hati, tidak dapat bekerjasama, impulsif, tidak dapat
mengambil keputusan, nakal, memunculkan sikap permusuhan dan agresif. Di
samping itu, kekerasan fisik dapat menyebabkan anak luka, sakit bahkan
mengalami kecacatan seumur hidup.
Selain
itu, terdapat juga orang tua yang terlampau sibuk di luar rumah dan menyenangi
rutinitasnya sehingga mereka mengabaikan, menampilkan sikap dingin, tidak
peduli, tidak menampilkan kehangatan, acuh tak acuh terhadap kegiatan atau
perasaan anak, jarang berkomunikasi atau bercanda dengan anak, tidak ada kontak
fisik dan bahkan menjauhi anak. Bahkan pada orang tua yang sangat ambisius atau
kaku, mereka biasa menertawakan, menjauhkan anak dari teman-teman atau lingkungannya,
merendahkan, mengintimidasi dan menipu anak.
Santrock (2007: 258) menjelaskan bahwa orang tua yang memiliki gaya pengasuhan
dengan kontrol dan afek yang rendah (permissive) serta mengabaikan
anak (neghlectful) dapat menyebabkan anak menjadi tidak patuh, tidak
bertanggung jawab, agresif, lalai, otoriter, terlalu percaya diri,penuntut dan
tidak sabaran.
Berkaitan dengan praktek prostitusi yang makin meningkat, banyak pula anak
remaja mengalami pelecehan seksual. Mereka dijual oleh orang tuanya untuk
dijadikan wanita penghibur, dipaksa untuk menikah dini atau dijadikan model
pornografi. Tidak sedikit anak perempuan yang mengalami kekerasan ini.
Pada
dasarnya semua kekerasan yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya adalah
karena persepsi mereka yang salah terhadap peran orang tua dan anak. Selain
itu, isu gender juga semakin menguatkan fenomena ini. Oleh karena itu, sebagian
besar pelaku kekerasan adalah laki-laki (Unicef, 2000). Dapat dibayangkan jika
kekerasan ini dilakukan pada anak-anak yang sedang mengembangkan kognitif,
afeksi dan psikomotor, maka perkembangannya akan terganggu bahkan sangat
mungkin menyebabknan kerusakan mental. Persepsi orang tua yang salah, lalu
diajarkan pada anak, maka anak pun akan memiliki persepsi yang salah, begitu
seterusnya.
Tidak
diketahui jelas kapan persisnya kekerasan pada anak ini terjadi di Indonesia
dan di negara lain. Namun semakin tahun, kasus kekerasan anak semakin
meningkat. Banyak pula pihak yang menggolongkan bahwa kekerasan terhadap anak
merupakan tindakan kriminal yang merugikan orang lain. Sehingga pada tahun
2004, pemerintah Indonesia mengeluarkan undang-undang tentang pengahapusan
kekerasan dalam rumah tangga nomor 23. Undang-undang ini dibuat untuk
menghormati hak asasi manusia, kesetaraan gender danmelindungi korbankekerasan
rumah tangga (Presiden RI, 2004).
Selain
itu, Kementrian Sosial Indonesia juga aktif mengadakan berbagai kegiatan untuk
mengatasi masalah kekerasan anak ini. Diantaranya adalah dengan mengaktifkan lembaga-lembaga
rehabilitasi sosial. Menurut Giwo Rubiyanto Wiyogo (mantan ketua KPAI), masalah
kekerasan ini banyak diakibatkan karena kondisi ekonomi. Hal ini memicu semakin
banyaknya anak terlantar dan dipekerjakan oleh orang tuanya. Namun hal ini adalah
masalah kompleks yang harus melibatkan berbagai pihak untuk mengatasinya.
Meskipun hukum kekerasan dalam rumah tangga telah ada, namun masalah ini belum
tertuntaskan. Hal ini diakibatkan karena sosialiasi mengenai undang-undang
kekerasan belum sepenuhnya diketahui dan dipahami oleh masyarakat, sehingga
memerlukan solusi lain yang daat mendukung penuntasan kekerasan rumah tangga
khususnya anak) di Indonesia (Johan, 2010).
Berdasarkan fenomena tersebut dan minimnya solusi mengenai kekerasan anak, maka
penulis tertarik untuk mengadakan studi literatur mengenai
solusi mengurangi tindak kekerasan pada anak. Keberhasilan untuk menangani
kekerasan terhadap anak dapat meningkatkan
persaingan bangsa berbasis keunggulan lokal.
Dapan dita garis bawahi bahwa kekerasan rumah tangga di karenakan
banyaknya factor pendorong psikis untuk melakukan kekerasan terhada orang yang
terdekatnya sebagai pentuk ekspresis kejiwaannya. Halini di karenakan tuntutan
kerjaan yang tinggi, perekonomian yang rendah dan masalah yang menghimpit dalam
keluarga membuat hilangnya hati nurani untuk menyayangi seseorang yang ada di
rumah.
Sumber :
-http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_dalam_rumah_tangga
No comments:
Post a Comment